Biografi Tokoh Pendiri Pondok Pesantren Nurul Hakim TGH. Shafwan Hakim

TGH. Shafwan Hakim terlahir dari keluarga santri. Ayahnya seorang guru ngaji dan tokoh agama kharismatik di desa Kediri, Kabupaten Lombok  Barat. Untuk menopang kehidupan keluarga dan menjamin pendidikan anak-anak tercinta, sang Ayah (TGH. Abdul Karim), menggeluti kerja sampingan sebagai pedagang dan petani. Pekerjaan sampingan itu dilakukan setelah menunaikan tugas utamanya sebagai pengajar untuk para santrinya yang datang dari berbagai desa di sekitar Kecamatan Kediri. Sementara Ibundanya (Hj. Chairiyah) sebagai Ibu rumah tangga sejati atau Dewi bagi anak-anaknya. Peran Ibunda dalam membentuk karakter Shafwan kecil sangat membekas pada dirinya.

Shafwan kecil merupakan anak tertua dari 14 (empat belas) bersaudara. Beliau dilahirkan di Dusun Karang Bedil, Kediri, Lombok Barat pada malam Selasa, tanggal 21 Rajab 1366 H/10 Juni 1947 M. Di usia kanak-kanaknya, beliau belajar al-Qur’an langsung dari Ayahandanya TGH. Abdul Karim, Amaq Sahuri, dan Pamannya H. M. Idris Mujtaba di dusun Sedayu Kediri. Beliau masuk Sekolah Rakyat dan mengaji pada umur 6 tahun.  Beliau menamatkan Pendidikan Dasarnya pada tahun 1959, lalu melanjutkan sekolahnya ke Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) selama empat tahun (sampai tahun 1963) di Pondok Pesantren al-Islahudiny Kediri di bawah asuhan TGH. Ibrahim Halidy. Pada saat itu, beliau aktif mengikuti pengajian yang diadakan oleh TGH. Mustafa, TGH. Ibrahim, TGH. Abdul Hafiz, TGH. M. Idris, Ust. Mazhar, Ust. Nawawi, Ust. Azhar, dan lainnya.

Pada Tahun 1965, beliau menyelesaikan studi di Sekolah Persiapan Institut Agama Islam Negeri (SP IAIN) Mataram. Beliau juga sempat mondok di Sekarbela selama dua tahun, yaitu 1963 – 1964. Di Sekarbela beliau aktif mengikuti pengajian dari TGH. M. Rais, TGH. Fadhil, TGH. Muktamad, Ust. Mustahik, dan lainnya. Di Tahun 1968, Beliau memperoleh gelar Sarjana Muda (BA) dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Selepas dari Yogyakarta, Beliau pulang ke kampung halamannya di Kediri untuk mengabdi di almamaternya Pondok Pesantren al-Islahudiny selama dua tahun (1969 – 1971). Dari tahun 1971 – 1973 dan tahun 1975 – 1977 sempat    mengajar    di    SP    IAIN    Mataram dan menghabiskan  banyak  waktunya  untuk  mengajar  di Pondok      Pesantren      Nurul      Hakim      peninggalan Ayahandanya.
Untuk   memperdalam   ilmu   agama,   Beliau menunaikan  ibadah  haji  dan  bermukim  di Masjidil Haram selama 1,5 tahun (1974-1975). Selama di Mekah, beliau sempat mengikuti pengajian dari Syekh Yahya Utsman  Makky  al-Hindy  dengan  kitab  Bukhari Muslim, Fathul  Majid,  dan  Tafsir  Ibnu  Katsir;  Syekh  Muhammad Alwi   al-Maliki;   Syekh   bin   Subayiluth;   Syekh   bin Humaid  dan  lainnya.   Sekembalinya  dari  Mekkah,  Beliau menghabiskan    waktunya    mengajar,    membina    dan mengembangkan Pondok Pesantren Nurul Hakim.
Beliau menikah dengan Hj.  Raehan  Athar  pada tahun 1969. Dari pernikahannya telah dikaruniai 14 putra dan putri.

Sepeninggal isterinya Hj. Raehan Athar pada tahun 2012  pada saat beliau menunaikan ibadah haji, TGH. Shafwan Hakim kemudian menikah kembali dengan Hj. Mukamilah pada hari Rabu, jam 16.00 wita, tanggal 12 Shafar 1434 H/26 Desember 2012 M.
Menancapkan panji-panji Islam di pelataran Gumi Sasak sudah menjadi bagian hidupnya. Berbagai upaya dan program berhasil dijalankannya dengan paripurna sehingga pelbagai penghargaan diterimanya, baik dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat.

Abun, begitulah biasanya para santri memanggilnya. Sosoknya tak pernah jauh dari Alqur’an atau kitab. Dimanapun dan kemanapun pasti ada kitab yang didekap disisinya.  Kesederhanaan, ketekunan, kesabaran, kecerdasan, dan ketaatan kepada Allah SWT melekat erat pada sosoknya.
Ulama kharismatik itu telah kembali ke hadirat Ilahi. Dengan mengembuskan nafas terakhir di Puskesmas Kediri pada malam 20 Juni 2018, beliau baru saja pulang ke tanah air setelah melakukan ibadah umroh bersama istrinya Hj. Muhkamilah. TGH. Shafwan meninggalkan umat Islam, para santri asuhan, jemaah pengajian dan masyarakat luas dengan kesan dan kenangan di benak tak terhitung orang.

(Disadur dari buku “Setengah Abad Nurul Hakim”)

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *